Purbalingga –Sabaranews.com_Seorang mantan manajer sekaligus pendiri sebuah koperasi yang berdomisili di Purbalingga mengajukan gugatan hukum terhadap koperasi tempatnya bekerja setelah pemecatan sepihak yang dilakukan oleh ketua umum koperasi. Kasus ini mencuat ke permukaan setelah mantan manajer tersebut merasa dirugikan terkait hak bagi hasil yang seharusnya diterimanya sebagai imbalan atas kinerjanya selama menjabat.
Menurut Suprapto S.H pengacara mantan manajer tersebut, kliennya telah bekerja dengan dedikasi tinggi mulai 2004 semenjak berdirinya kantor cabang dipurbalingga dan berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan koperasi. Namun, pada beberapa bulan lalu, kliennya menerima pemberitahuan pemecatan yang dianggap tidak sah dan tanpa alasan yang jelas. Melalui gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Purbalingga, mantan manajer tersebut menuntut pembayaran hak bagi hasil yang masih menjadi haknya sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam dokumen gugatan, mantan manajer menyatakan bahwa selama masa kerjanya, ia telah berhasil meningkatkan kinerja keuangan koperasi, yang terlihat dari peningkatan jumlah anggota dan laba yang diperoleh dari modal awal sebesar 175.000.000 ( seratus tujuh puluh lima juta rupiah ) pada tahun 2004 dan pada tahun 2024 sudah mencapai 30.000.000.000 ( tiga puluh miliar rupiah ) Ia juga menekankan bahwa pemecatannya dilakukan tanpa proses musyawarah yang seharusnya ada dalam mekanisme pengambilan keputusan di koperasi. Keputusan tersebut dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang yang merugikan dirinya secara finansial dan emosional.
Ketua umum KSP Bhina Raharja H. M Atna Tukiman S.E, yang menjadi pihak tergugat dalam kasus ini, sudah mangkir dalam persidangan sebanyak tiga kali, dan menganggap remeh pengadilan dengan menolak panggilan sidang yang telah ditetapkan oleh pengadilan negeri Purbalingga tanpa alasan.
Gugatan ini menarik perhatian publik, terutama di kalangan anggota koperasi dan pelaku usaha di sektor koperasi. Banyak yang mempertanyakan prosedur pemecatan yang dilakukan oleh ketua umum serta mekanisme transparansi yang seharusnya ada dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan anggota. Beberapa anggota koperasi bahkan mengungkapkan keprihatinan bahwa tindakan sepihak seperti ini dapat mengakibatkan ketidakpercayaan di antara anggota dan mengganggu stabilitas koperasi.
Seorang ahli hukum yang mengamati kasus ini menilai bahwa pemecatan sepihak dalam suatu organisasi koperasi dapat menjadi masalah serius, terutama jika tidak didukung oleh bukti yang kuat. Ia menjelaskan bahwa dalam koperasi, prinsip musyawarah untuk mufakat harus diutamakan untuk menjaga keadilan dan transparansi. Jika terbukti bahwa pemecatan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, maka bisa jadi keputusan tersebut tidak sah dan berdampak kepada ranah hukum pidana menurutnya, namun apa saja yang unsurnya saat ini masih di rahasiakan karena masih menunggu proses gugatan perdata.
Mantan manajer yang menggugat pun berharap agar kasus ini menjadi pelajaran bagi koperasi lain untuk lebih memperhatikan hak-hak anggota dan melakukan proses pengambilan keputusan secara adil. Ia menekankan pentingnya menjaga integritas dan kepercayaan dalam organisasi koperasi, sehingga tidak ada anggota yang merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
Saat ini, kasus ini masih dalam proses hukum di pengadilan, dan kedua belah pihak diharapkan dapat menghadirkan bukti-bukti yang mendukung argumen mereka. Kedepannya, masyarakat menanti keputusan hukum yang akan diambil oleh pengadilan, yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan menjadi preseden positif bagi penyelesaian sengketa di lingkungan koperasi. Sementara itu, mantan manajer dan kuasa hukumnya tetap optimis bahwa haknya sebagai pendiri yang berkontribusi pada koperasi akan diakui dan dipertimbangkan dengan adil oleh pihak pengadilan.
"Aji"